Berita, fakta atau sensasi dalam drama Pinocchio. Akhir tahun publik merasakan hangatnya sajian berita. Berbagai peristiwa disajikan. Berita mana yang benar-benar didengar? Bagi banyak orang apakah informasi itu fakta atau hiburan. Kadang rumit untuk menguraikannya satu demi satu.
Ada berita besar tentang peristiwa kerumunan, aksi korupsi yang mencengangkan, kemenangan pilkada yang hingar bingar, isu vaksin yang kian terang, sampai kemeriahan diskon yang digebyar habis-habisan.
Covid hanya salah satu fakta yang digulirkan. Beritanya semakin terasa memudar, mungkin karena isi beritanya tidak lagi sensasional. Apakah publik juga sudah bosan dengan isinya yang kian muram.
Menyimak rangkaian berita di akhir pekan ini jelang akhir tahun, ada cerita menarik yang dapat disimak dari drama Pinocchio. Sebuah kisah tentang bagaimana berita dikemas dan digulirkan dalam layar kaca. Menarik sekali alur ceritanya. Bisa menjadi renungan tentang peristiwa yang terjadi sepanjang tahun ini.
Dalam drama Korea Pinocchio dikisahkan bagaimana sebuah tayangan berita dapat menjadi kemasan banyak peristiwa lainnya yang tidak kita duga. Awalnya terjadi pencurian tas sekolah yang harganya mahal di sebuah toserba. Pencurinya tertangkap. Ternyata ia mencuri karena ingin menghadiahkan tas itu pada anaknya. Ayah ini adalah seorang single parent yang sehari-hari bekerja sebagai penjual makanan pinggir jalan. Ia tidak mampu membeli tas itu karena harganya mahal. Namun ia sangat ingin membahagiakan anaknya pada momen akhir tahun.
Ketika mengetahui peristiwa pencurian ini, sang pemilik toserba berkeras untuk melaporkan ke polisi, memenjarakan dan menuntut si pencuri agar mendapatkan hukuman akibat perbuatannya. Padahal tas tas curian itu dikembalikan ke toserba.
Di satu sisi pencurian adalah sebuah kesalahan. Namun fakta kenapa ia mencuri, untuk apa, dll yang melingkupi fakta itu tidak menjadi pertimbangan bagi pemilik toserba. Ia tetap melayangkan gugatan. Jadilah sang ayah meringkuk dalam tahanan polisi. Sehingga anaknya yang masih usia sekolah kehilangan ayahnya. Anaknya menjadi seorang diri tanpa ada yang mengurus hidupnya.
Jadilah peristiwa pencurian ini menjadi kemasan berita dan diliput oleh berbagai media hingga statiun televisi. Kejadian ini mendapat perhatian publik. Ada sisi menggugah perasaan, namun setting peristiwanya menjadi viral dan berefek positif, meningkatkan penjualan tas mahal itu. Ini lanjutan ceritanya.
Ketika anak sang pemilik toserba bernama Beom Jo, menanyakan pada ibunya, mengapa ia menjadikan peristiwa pencurian ini menjadi strateginya untuk meningkatkan bisnisnya. Ibunya menjawab: “Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa?” Ya benar tidak ada kesalahan yang dibuat. Namun yang terluka adalah hati nurani.
Sebegitu teganya ia memperkarakan sang ayah yang mencuri untuk menjadi tahanan polisi dan membuat anaknya yang masih kecil menderita karena peristiwa tersebut. Sementara ia menantikan momen liputan beritanya menarik perhatian publik karena ingin mendapatkan keuntungan dari berita tersebut. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana nasib ayah yang mencuri dan anaknya.
Saya menjadi teringat kisah seperti ini di satu negeri. Ketika banyak fakta yang menjadi berita tetapi banyak orang hanya menikmati sensasinya dan luput mencari inti peristiwa yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan kita, seberapa bisa memilah berita, fakta atau sensasi. Banyak dari kita mungkin abai dan enggan menelusuri apa yang sesungguhnya diberitakan.
Berita, fakta atau sensasi. Mana yang kita dengar, mana yang bisa kita percayai. Kepada siapa kita bisa bertanya sesungguhnya fakta itu ada dimana? Entahlah. Sepertinya kita memang pantas merenung khususnya di akhir tahun 2020 ini. Berharap kita tidak terjebak pada rentetan ilusi yang membuat kita membohongi diri sendiri.
Berita Fakta atau Sensasi dalam drama Pinocchio.***
Post Your Thoughts