Ketika Kekuatan Hati Seorang Wanita Bercerita

Ketika kekuatan hati seorang wanita bercerita

Braaaaak…..

Suara keras seperti barang jatuh itu mengagetkan aku saat menyelesaikan setumpuk kuesioner yang tersusun di meja kerja. Sudah berulang kali aku mencoba untuk konsentrasi dengan lembaran-lembaran kertas berserakan di hadapanku, tetapi tetap saja pikiran ini tidak bisa fokus.

“Ibu … Ibu … Ibu dimana?”

Kembali suara itu membuyarkan konsentrasiku dalam mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan untuk sesi tanya jawab besok pagi dengan para penguji.

Ya …. Muhammad Raffi memang anak spesial buat aku, usianya baru menginjak 4 tahun dengan tingkah polanya yang tidak bisa diam dan menggemaskan. Apa pun barang yang di dekatnya hampir bisa dipastikan akan jatuh atau berpindah tempat dengan cara yang tidak biasanya.

Namun, keberadaan Raffi-lah satu-satunya alasan yang membuat aku kuat dan bertahan untuk hadapi semua permasalahan dan gempuran-gempuran hebat sejak pernikahan aku memasuki tahun kedua.

Baru aku sadari bahwa pernikahan dengan dasar dan hubungan yang kuat tidak menjamin pernikahan tersebut bertahan lama sesuai dengan  rencana yang aku impikan selama ini. Kenyataannya, selain cinta yang kuat, hubungan itu harus didasari saling kepercayaan, support satu sama lain, dan terutama adalah tujuan pernikahan itu sendiri yang dilandasi oleh agama.

Kembali ke Raffi, anak kecil yang selalui mewarnai hidupku sekaligus sebagai penyemanagt hidup di saat mulai merasa capai dengan semua permasalahan dan tanggung jawab yang harus aku pikul.

Tiga tahun berlalu, tepatnya awal Februari tahun 2003 merupakan tahun berat untuk ibu muda seusia kau, full activity dengan kesibukan kantor yang padat dan sekaligus mengurus anak dan rumah tangga untuk mengurus Raffi dan membantu beberapa pekerjaan rumah tangga.

Di sinilah berbagai warna sekaligus ujian kehidupan rumah tanggaku berlangsung. Tidak dipungkiri aku sangat terbantu dengan keberadaan Sarah, asisten rumah tanggaku, terutama dalam mengasuh Raffi. Setelah 2 bulan lebih Raffi dalam pengasuhan Sarah, mulai terlihat Raffi sering batuk-batuk dibarengi panas suhu tubuhnya.

Pada awalnya aku berpikir karena tertular Sarah yang saat itu sempat terkena flu dan batuk selama beberapa hari setelah bermain dari rumah kakaknya yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Sebelumnya Raffi sudah diperiksakan ke dokter dan diagnosa saat itu terkena batuk biasa, tetapi setelah beberapa minggu dan obatnya sudah habis, sakitnya tidak berkurang dan tidak ada perubahan sama sekali.

Kesehatan Raffi semakin menurun dengan batuk yang semakin sering dan tubuh terus menyusut. Mau tidak mau Raffi kembali lagi ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. Setelah mengikuti rangkaian proses pemeriksaan yang lumayan panjang dan menguras biaya, didapatlah diagnosa penyakit Raffi.

Blaaar …..

Saat mendengar hasail diagnosa penyakit yang diderita Raffi, rasanya seperti mendengar petir di siang bolong dan serasa langit runtuh meluluhlantakkan tubuh dan pikiran. TBC (Tuberculosis) tiga huruf yang mengandung arti sangat dahsyat, tiga hururf yang mampu memporakporandakan ketangguhan dan meruntuhkan dunia yang aku pijak.

Rasa sedih, kecewa, marah, dan menyalahkan diri sendiri menjadi satu dalam balutan rasa tidak terima, seperti runtuhan batu yang mengubur dalam kegelapan. Tidak hanya itu berita yang tidak mengenakkan aku terima, ternyata kakak kandungku juga terkena TBC dan menyerang rahimnya karean sering berinteraksi dengan Raffi dan Sarah, yang mengakibatkan salah satu rahimnya harus diangkat karena sudah rusak akibat penyakit TBC-nya.

Lengkap sudah rasanya rasa bersalah yang aku rasakan karena keteledoran dan ketidakmampuanku sebagai ibu yang harusnya bisa menjaga Raffi dengan baik sehingga menularkan TBC tersebut ke kakakku.

Saat aku mencoba untuk mengatasi penyakit raffi dan kakakku, datang cobaan  berikutnya yang membuat aku semakin terpuruk. Suamiku terlibat masalah dengan costumer dan pekerjaannya. Masalah yang dihadapi suamiku berkaitan dengan uang ratusan juta rupiah dan namaku disangkutpautkan tanpa sepengetahuanku sebagai salah satu penanggung jawab masalah tersebut.

Ya Allah …. Dosa apa yang sudah aku lakukan sehingga bertubi-tubi teguran Engkau berikan ke keluarga kecil dan kakakku?

Aku hanya menahan rasa sedih, emosi dan rasa tidak terima hasil diagnisa tersebut dan berharap ini kesalahan diagnosa. Aku juga tidak siap mendengarkan masalah yang dialami suamiku dengan dilibatkannya aku tanpa sepengetahuan dan persetujuanku.

Aku benar-benar ketakutan dan merasa kecolongan karena kesibukan dan keangkuhanku sebagai wanita  karir mandiri, wanita yang selalu melakukan apapun dengan rencana matang dan merasa semua bisa teratasi dengan kemampuanku yang selalu menuntut kesempurnaan. Sehingga terlalu percaya diri dengan berpikir semua akan baik-baik saja. Kenyataannya urusan yang berkaitan dengan Raffi terabaikan dan komunikasi dengan suamiku menjadi memburuk karena kesibukan masing-masing yang terlalu tinggi.

Anakku, Muhammad Raffi berusia 6 bulan saat didiagnosa terkena TBC yang bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik dan serius. Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali menangis, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan keadaan, bahkam sempat menyalahkan Allah SWT, dan merasa tidak adil dengan apa yang terjadi dengan Raffi dan masalah suamiku. Semua menjadi tidak berarti saat melihat kondisi Raffi semakin lemah, masalah yang ditimbulkan suamiku, dan buruknya hubunganku dengan suami.

Campur aduk yang kurasakan setiap membawa Raffi ke rumah sakit untuk terapi dan saat meminumkan obat yang berwarna merah selama 6 bulan berturut-turut tanpa boleh ada yang terlewatkan ke mulut mungilnya. Ingin rasanya menggantikan posisi Raffi saat kesakitan. Ingin rasanya waktu berputar kembali untuk memperbaiki keadaan yang terjadi. Ingin rasanya berteriak ke suami supaya meluangkan waktu sejenak untuk menemani Raffi terapi dan lupakan  sesaat masalah yang dihadapinya, karena aku sangat butuh support dari dirinya.

Tetapi apa daya, suamiku tipe yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, banyak perubahan yang terjadi setelah satu tahun pernikahan, banyak hal yang terjadi diluar sepengetahuanku dan aku semakin tidak mengenal sosok suamiku.

Aku merenung, introspeksi, dan bermunajat kepada Allah untuk diberi kesabaran dan keikhlasan atas masalah yang dihadapi suamiku dan berdoa untuk kesembuhan Raffi. Di sepertiga malam aku mengadu dan memohon kepada Allah SWT untuk semua hal yang menjadi ketakutan dan kekhawatiran aku. Memohon ampun dan hilangkan atas pikiran  dan jiwaku yang selalu merasa tidak adil dengan masalah yang aku hadapi.

Kejadian ini menyadarkan aku untuk banyak bermuhasabah diri atas semua hal yang aku lakukan. Di titik aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa dengan masalah yang dihadapi, aku sadari semua kepunyaan Allah, semua sudah ada jalannya masing-masing. Semua sudah qadarullah, tinggal kita menyikapinya dan mengambil hikmah sebanyak-banyaknya. Sehebat-hebatnya kita tidak lebih hebat dari Sang Pencipta dan setiap peristiwa  atau kejadian tidak pernah ada yang sia-sia.

Alhamdulillah di saat aku sudah ikhlas dan menyerahkan semuanya ke Allah SWT, berangsur-angsur kondisi Raffi mulai ada perkembangan, begitu pun dengan kesehatan kakakku yang mulai membaik. Tepat di usia setahun Raffi dinyatakan sembuh dan bebas dari obat yang harus diminum setiap hari.

Banyak hikmah yang bisa aku petik dari semua kejadian yang aku jalani sebagai wanita pekerja sekaligus ibu rumah tangga seperti aku yang memiliki balita, sangatlah penting memeriksa kesehatan pengasuh atau asisten rumah tangga sebelum bekerja di rumah kita. Memantau atau crosschek kegiatan yang dilakukan pengasuh atau asisten rumah tangga sehari-hari dengan anak kita. Terutama jika kita mempercayakan anak kita sepenuhnya kepada mereka.

Di sisi lain hubungan aku dengan suami semakin berjarak, kepercayaan yang diberikan disalahgunakan banyak hal yang harus diselesaikan. Masalah semakin bertubi-tubi silih berganti dengan komunikasi memburuk dan keadaan semakin memanas.

Hidup adalah ujian dan cobaan dari Allah SWT untuk menilai iman kita dan tingginya derajat kita di sisi Allah SWT. Dan aku  yakin, Allah tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuannya (QS Al Baqarah : 286). Dengan keyakinan tersebut, aku berserah diri dan percaya kepada Allah SWT untuk semua kejadian dan hasil akhirnya insyaallah aku akan menjalami episode berikutnya sesuai skenario yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz dengan ikhlas dan sabar dan aku percaya setiap masalah pasti ada jalan keluar.

Sebuah kisah ketika kekuatan hati seorang wanita bercerita.***

Sumber: Tiga huruf (Mira Taqiy dari buku “The Miracle of Doa”)

Post Your Thoughts