Kisah Tentang Kesetaraan dan Drama Korea Keluarga Romantis

Kisah tentang kesetaraan dan drama korea keluarga romantis kadang menceritakan hal yang bertolakbelakang. Korea Selatan telah berhasil mengubah wajah  industri negaranya dengan produk berteknologi tinggi dan kecantikan yang membanjiri dunia. Produk kecantikan menjadi ikon negara ini. Mulai dari masker wajah hingga operasi kecantikan berharga milyaran rupiah.

Perkembangan ekonomi yang gemerlap menyisakan kisah pilu bagi para wanitanya. Kini semakin banyak para wanita Korea yang memasuki dunia kerja. Kompetisi dunia kerja tidak memberikan toleransi cukup longgar untuk mereka, sehingga akan sulit bagi wanita yang menikah untuk bisa memilih kedua dunia ini sekaligus.

Rata-rata wanita yang menikah segera memilih berhenti bekerja dan mengurus keluarga mereka. Jarang yang kemudian kembali ke dunia kerjanya. Sementara para lelaki Korea memang sumber daya yang sepenuhnya siap memasuki dunia kerja dengan perannya sebagai kepala keluarga.

Waktu bekerja yang panjang melebihi 40 jam dalam satu pekan memberi beban tersendiri bagi para pekerja di Korea, khususnya wanita. Dalam satu survei yang dilakukan Korea Occupational Safety and Health Agency (KOSHA) di tahun 2014 didapatkan bahwa hanya 47% pekerja di negera ini menghabiskan waktu bekerja 48 jam sepekan, selebihnya memiliki waktu kerja jauh lebih panjang. Bahkan untuk pekerja mandiri atau wirausaha mereka menghabiskan waktu bekerja rata-rata 60 jam sepekan. Mereka yang memiliki waktu kerja panjang ada di bidang pelayanan akomodasi dan makanan, seni, olahraga dan rekreasi.

Sejak tahun 2014 Korea Selatan mengeluarkan peraturan untuk membatasi waktu kerja warganya menjadi 40 jam sepekan. Upaya ini dilakukan untuk memberikan kehidupan yang sehat dan berkualitas pada warganya. Selain itu mereka bisa mempunyai waktu luang untuk keluarga dan kegiatan lain diluar bekerja.

Waktu kerja yang panjang dan tingginya kompetisi dunia kerja membuat para wanita tidak lagi berpikir mengejar karir setelah menikah. Sulit meninggalkan pengasuhan anak-anak kepada orang lain. Dunia kerja juga tidak bertoleransi dengan kebutuhan waktu mereka mengurus anak-anak. Sekitar dua pertiga wanita Korea meninggalkan karir bekerjanya ketika menikah. Banyak wanita yang bekerja di wilayah tanpa perlindungan keselamatan dan kesehatan yang baik, bergaji lebih rendah dan jadwal bekerja yang ketat.

Kondisi sosial ini telah mempengaruhi pertimbangan menikah di kalangan anak muda Korea Selatan. Dunia kerja akhirnya didominasi dengan pekerja wanita berusia usia 25-29 tahun yang sebagian besarnya berstatus lajang. Sementara usia menikah bertambah menjadi 30-tahunan. Wanita usia 30 tahunan ke atas yang bekerja jumlahnya relatif tetap.

Hasil pengukuran The Global Gender Gap Index menunjukkan posisi Korea Selatan tetap di bawah dalam prestasi wanitanya di dunia kerja, yaitu mencapai posisi 93 dari 115 negara di tahun 2006, dan peringkat 116 dari 144 negara di dunia pada tahun 2016. Posisi ini menunjukkan bahwa hanya sedikit wanita Korea Selatan yang dapat mencapai karir yang tinggi di negaranya.

Rata-rata usia menikah meningkat menyebabkan angka pertumbuhan penduduk Korea terus melambat. Seorang ibu Korea Selatan melahirkan anak pertamanya umumnya di usia 32 tahun. Saat ini rata-rata keluarga Korea Selatan memiliki 1 anak. Problematika sosial kian bertambah dengan meningkatkan angka perceraian. Penceraian menyisakan beban bagi keluarga-keluarga muda.

Semakin terpuruknya kondisi sosial Korea Selatan membuat pemerintah memformulasikan kebijakan baru untuk mengubah kondisi keluarga ini. Dukungan bagi keluarga ditingkatkan dalam bentuk reformasi kebijakan ramah keluarga, antara lain subsidi bagi keluarga untuk pengasuhan anak-anak, mengkondisikan tempat bekerja agar ramah anak (child-frienly), pengaturan jam kerja dll. Meskipun demikian perubahan masih berjalan lambat.

Kisah Tentang Kesetaraan dan Drama Korea Keluarga Romantis.***

Sumber: Divorce in Korea: Trends and Educational Differentials, Hyunjoon Park & James W. Raymo (2013); Long Work Hours in Korea, Base on the 2014 Korean Working Condition Survey, Junsun Park et.al. (2017); Policy Response to Low Fertility in Korea: A look through OECD Indicators, Yoon-jeong Shin (2018).

Post Your Thoughts