Munculnya sampo generation di Korea Selatan menjadi konsekuensi panjang dari perkembangan budaya pop dunia di negeri ini. Gegap gempita industri glamor musik K-pop dan K-beauty yang melahirkan fans di seluruh dunia menampilkan fakta yang paradoks dengan nasib sebagian warganya.
Angka pengangguran merangkak naik, adanya ketimpangan pendapatan, kecenderungan bunuh diri tinggi, dan populasinya semakin menua. Potret negeri ini tampak suram.
Sampo generation di Korea Selatan menjadi warna baru buat identitas mereka di tengah-tengah perkembangan sosial negerinya saat ini. Sebutan “sampo generation” artinya mereka menjadi kelompok masyarakat yang melepaskan diri dari hubungan personal dengan menunda masa menikah dan mempunyai anak, dan bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang berat tanpa memiliki rumah atau properti.
Munculnya sampo generation dapat kita simak dari gambaran demografi Korea Selatan dengan pertambahan penduduk berusia lanjut, sementara pertumbuhan penduduk cenderung menurun. Makin banyak keluarga dengan satu anak dengan usia pernikahan yang semakin merangkak naik. Mereka khawatir tidak dapat membiayai kehidupan sebagai keluarga.
Makin banyak anak muda yang memilih hidup sendiri alias melajang. Tinggal dan menikmati hidupnya sendirian. Sementara saat keresahan dan kegagalan muncul, tidak ada tempat untuk berkeluh kesah.
Pemerintah Korea Selatan berupaya mengurangi beban di dunia kerja dengan mengatur jam kerja formal bagi para pekerjanya. Namun merubah budaya kerja ini membutuhkan waktu yang panjang.
Kehidupan yang melelahkan dengan tingkat kepuasan kerja rendah mendorong munculnya stress akibat kerja. Sampo generation tidak mempunyai banyak pilihan kecuali bertahan.
Berbagai alternatif yang mereka pilih memunculkan berbagai fenomena baru di kalangan anak-anak muda Korea Selatan. Diantaranya munculnya tren “Sohwakhaeng” yaitu menikmati kebahagiaan dari hal-hal kecil yang dapat dilakukan, hingga tren “Shibol Biyong” dengan melakukan apa saja yang mereka suka asal bahagia.
Ciri demografi penduduk Korea Selatan yaitu 46,4% penduduknya tidak beragama atau ateis, 29,4% Kristen, 22,9% Buddha. Hanya sekitar 35.000 orang yang beragama Islam. Sebagian lainnya beragama Hindu dll. Sebagian besar hidup tanpa memeluk agama. Kondisi ini bisa sedikit menjelaskan bahwa sebagian besar mereka mencari pemecahan atas persoalan hidupnya dengan caranya sendiri.
Hidup memang pilihan. Untuk menjadi bahagia pun banyak caranya. Sampai kapan sampo generation akan bertahan di Korea Selatan?
Munculnya sampo generation di Korea Selatan.***
Post Your Thoughts