Paradoks Kondisi Sosial di Korea Selatan antara Realita dan Kisah Drama

Paradoks kondisi sosial di korea selatan antara realita dan kisah drama. Bagi penikmat drama Korea umumnya membayangkan gambaran keluarga Korea yang ideal. Mereka ingin memiliki keluarga sebagaimana keluarga Korea Selatan. Sosok Ibu menjadi tokoh sentral yang sangat perhatian terhadap anak-anak mereka. Seolah kata-katanya bertuah, harus didengar oleh anak mereka.

Sekalipun demikian kuatnya posisi Ibu di tengah keluarga. Konflik gender tetap dirasakan. Peran wanita dominan di rumah, pria berperan mencari nafkah bagi keluarganya. Kisah keluarga yang hangat menjadi ikon drama Korea adalah bentuk penghargaan Korea Selatan pada budaya keluarga dalam nilai traditional mereka. Hal ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Para penggemar drama Korea dari Jepang sampai sangat merindukan profil keluarga seperti itu dalam drama-drama Jepang.

Saat ini struktur keluarga Korea masih banyak mengadop nilai traditionalnya. Nilai dan ikatan keluarga sangat mewarnai kehidupan sosial mereka. Perkawinan anak-anak biasanya diatur alias dijodohkan oleh keluarga. Anak laki-laki menikah dengan wanita yang direstui oleh kedua orang tuanya.

Dalam keluarga anak lelaki tertua akan menggantikan orang tua mereka dan mengayomi keluarga besarnya. Wanita yang menikah akan ikut dengan suaminya. Menantu perempuan mesti patuh dan membangun hubungan yang baik dengan ibu mertuanya.

Dalam keluarga Korea wanita mengerjakan banyak tugas-tugas keluarga, termasuk mengasuh anak-anak mereka. Sementara laki-laki akan sibuk bekerja dan memberi nafkah bagi keluarga.

Akibat tuntutan dunia kerja modern saat ini para ayah bekerja dengan jam kerja yang panjang. Ada kecenderungan waktu untuk keluarga semakin terbatas. Hanya Ibu yang mendampingi anak-anak selama proses perkembangan mereka. Ini menjadikan hubungan keluarga merenggang dan tidak lagi harmoni sebagaimana keluarga Korea traditional.

Konflik sosial di masyarakat Korea Selatan saat ini ditandai dengan meningkatkan angka perceraian. Perceraian menjadi kondisi yang menyulitkan karena memberikan konsekuensi ekonomi yang berat. Perceraian memberikan stigma, terutama bagi wanita. Wanita dengan status “single parent” sulit untuk membangun kemandirian ekonomi. Biasanya wanita Korea yang menikah memilih untuk kembali ke rumah, mengurus keluarganya. Ketika kembali ke dunia kerja ia akan mengalami banyak kesulitan untuk beradaptasi kembali.

Perkembangan ekonomi dan industri Korea Selatan berjalan sangat cepat. Negara ini menjadi kekuatan ekonomi Asia setelah Cina, Jepang dan India. Perkembangan ini mempengaruhi kondisi sosial dan keluarga Korea Selatan. Terlebih makin banyak wanita Korea yang meraih jenjang pendidikan tinggi dan bekerja sehingga mampu membangun karir dan mandiri.

Pergeseran kondisi sosial Korea Selatan pun terjadi. Para wanita Korea cenderung enggan memiliki anak. Makin banyak kawula muda yang memilih hidup melajang. Pasangan keluarga muda pun berpikir ulang untuk mempunyai anak lebih dari satu. Mereka mengkhawatirkan beban ekonomi untuk mengasuh anak-anak dan membiayai sekolahnya.

Angka kelahiran Korea Selatan menjadi sangat rendah, sementara jumlah penduduk lansianya terus bertambah. Menurut perhitungan pola demografi, penduduk Korea Selatan pada tahun 2029 mulai menurun Pertumbuhan penduduknya akan terus negatif. Fakta ini menyebabkan pemerintah Korea resah. Korea Selatan akan kekurangan penduduk.

Masalah besar juga sedang dihadapi kawula muda Korea Selatan. Fenomena bunuh diri anak-anak muda Korea Selatan sangat tinggi. Mengapa?

Anak muda Korea Selatan banyak yang mengalami depresi. Depresi mendorong mereka mengambil jalan pintas, yaitu bunuh diri. Tingkat kompetisi di sekolah benar-benar membuat hidup mereka penuh derita. Kewajiban untuk masuk perguruan tinggi berkualitas atau sekolah di luar negeri menjadi tekanan hebat dari para orang tua. Hidup mereka dituntut untuk berprestasi dan menduduki peringkat tinggi di sekolah.

Banyak orang tua Korea Selatan memimpikan anaknya berhasil dalam kompetisi dunia kerja global. Untuk itu meraih pendidikan tinggi menjadi kunci utama. Tak jarang keluarga terpisah sejak kecil karena keinginan menyekolahkan anak-anak di luar negeri sejak kecil.

Anak-anak Korea Selatan bertahan hingga malam hari di sekolah mengerjakan tugas-tugas mereka. Sebagian dari mereka mengejar prestasi dengan tambahan kursus-kursus yang melelahkan.

Dengan semua fakta ini rasanya Korea Selatan memang hebat menampilkan dramanya sebagai sebuah hiburan di layar dunia. Gambaran keluarga Korea yang penuh cinta dengan konflik-konflik yang menggemaskan dan indah. Namun dibalik semua ini tersimpan masalah sosial yang mengancam masa depan negerinya.

Industri perfilman Korea memiliki alur ceritanya yang unik dan mempesona. Semua kisah tentang negeri dan produk Korea ditampilkan disana. Drama Korea menjadi gerbong yang mengantarkan perekonomian negeri ini semakin melaju kencang.

Bagaimana dengan perfilman Indonesia?

Paradoks kondisi sosial di korea selatan antara realita dan kisah drama.***

Post Your Thoughts