Patofisiologi dari penyakit Alzheimer patut diketahui. Penyakit ini banyak dialami oleh para lanjut usia.
Penyakit Alzheimer ditemukan oleh seorang neurolog dan psikiater Jerman, Alois Alzheimer pada tahun 1906. Alzheimer adalah penyakit degeneratif progresif yang menjadi penyebab sindroma demensia.
Gejala utama penyakit Alzheimer adalah kehilangan daya ingat, penurunan fungsi kognitif sampai kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri. Mereka akan semakin tergantung pada keluarga setiap hari.
Kerusakan yang terjadi pada sel neuron otak adalah adanya atrofi pada sel neuron otak, hingga berat otak berkurang hingga 35%. Secara histopatologi ditemukan deposisi ekstraselular amyloid beta (Aβ), neurofibrillary tangles (NFT) yang menyebabkan sinaps (sambungan antar sel neuron otak) mengalami disfungsi, terutama di bagian hipokampus. Keadaan ini mengakibatkan sel neuron mati.
Kelainan yang terjadi selain NFT adalah adanya kerusakan reseptor pada saur darah otak sehingga terjadi disfungsi dan menyebabkan amyloid beta (Aβ) tidak dapat dikeluarkan ke sirkulasi darah. Kemudian amyloid beta (Aβ) tertimbun di otak membentuk plaks yang bersifat toksik. Pembentukan plaks amyloid beta (Aβ) berdampak pada gangguan sistem imun di otak. Reaksi sistem imun ini mengakibatkan gangguan fungsi sel neuron di hipokampus dan korteks serebral. Keadaan ini menyebabkan sel neuron mati.
Etiologi penyakit Alzheimer belum diketahui hingga saat ini. Namun hasil penelitian yang sudah dilakukan menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya Alzheimer adalah: proses penuaan, paparan zat toksik (aluminium, logam berat), hipertiroid atau hipotiroid, diabetes, autoimun, radikal bebas, trauma kapitis, stress, depresi berat, pendidikan rendah, adanya proses inflamasi, dan faktor genetik.
Gejala penyakit Alzheimer adalah adanya penurunan daya ingat, penurunan fungsi intelektual yang mengakibatkan perubahan perilaku.
Penyakit Alzheimer menyebabkan penderita Alzheimer sering lupa, sulit fokus, mengalami hambatan dalam melakukan tugas sehari-hari, disorientasi, sulit memahami sesuatu secara visuospasial seperti membaca, mengukur jarak, dan membedakan warna, penderita juga mengalami gangguan komunikasi, menarik diri dari pergaulan, ada perubahan emosi dan depresi.
Penatalaksanaan penyakit Alzheimer disesuaikan dengan proses patologinya, yaitu penimbunan plaks amyloid beta (Aβ) yang mengakibatkan kematian neuron.
Hasil studi epidemiologi memperlihatkan bahwa pemberian nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) memperkecil resiko penyakit Alzheimer. Sehingga pemberian NSAID diharapkan dapat menurunkan prevalensi Alzheimer.
Terapi lainnya yang dilakukan para ahli dengan memberikan enzim gamma-secretase inhibitor, dan terapi imunologik dengan pemberian vaksin. Enzim gamma-secretase inhibitor berperan dalam mencegah pembentukan plaks amyloid beta (Aβ).
Pada penderita Alzheimer ditemukan kadar neurostansmiter asetilkolin (ACh) kurang hingga 30-90% di otak, terutama pada area hipokampus dan prefrontal korteks. Pemberian terapi inhibitorik kolinesterase akan meningkatkan kembali kadar asetilkolin di sinaps dengan cara mencegah pemecahan asetilkolin di sinaps.
Patofisiologi dari penyakit Alzheimer menjadi penting untuk dapat menatalaksana penyakit ini dengan baik.
Post Your Thoughts