Patofisiologi dari Penyakit Hipertensi

Patofisiologi dari penyakit hipertensi cukup kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini.

Hipertensi adalah penyebab kematian nomor satu di dunia. Sekitar 60% kematian di dunia berkaitan dengan penyakit ini. Hipertensi menjadi faktor resiko yang berperan untuk terjadinya penyakit kardiovaskular.

Angka kejadian hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia diatas 60 tahun prevalensi penyakit hipertensi mencapai 65,4%. Adanya obesitas, sindroma metabolik, tingginya kadar asupan NaCl pada makanan, konsumsi alkohol, rokok, stres, kurang olah raga mendorong terjadinya hipertensi.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi

Ada empat faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hipertensi:

  1. Peran volume intravascular
  2. Peran kendali saraf autonom
  3. Peran renin angiotensin aldosterone (RAA)
  4. Peran dinding vaskular pembuluh darah

Peran volume intravaskular:

Peran volume intravaskular dijelaskan oleh Kaplan, bahwa tekanan darah tinggi merupakan hasil interaksi antara cardiac output (CO) atau disebut juga curah jantung (CJ) dan total peripheral resistance (TPR) atau tahanan total perifer (TTP).

Volume intravascular merupakan faktor utama untuk menjaga kestabilan tekanan darah. Jika ada perubahan tekanan total perifer seperti vasodilatasi atau vasokontriksi maka ada proses untuk menstabilkan tekanan darah kembali normal.

Misalnya pada saat asupan NaCl atau garam meningkat, ada respon dari ginjal untuk mengekskresikan garam keluar dari tubuh bersama urine. Proses pengeluaran garam melalui urine meningkat. Ketika proses ini sudah melebihi batas kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular kembali meningkat. Sehingga curah jantungpun akan meningkat kembali. Proses ini berlangsung secara autoregulasi.

Jika terjadi vasodilatasi, tekanan darah menurun. Saat ada vasokontriksi, tekanan darah meningkat.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi

Peran kendali saraf autonom:

Sistem saraf autonom ada dua, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.  Sistem saraf simpatis menstimulasi saraf viseral, organ-organ tubuh dalam tubuh. Serat saraf parasimpatis adalah menghambat stimulasi saraf simpatis. Kontrol saraf simpatis dan parasimpatis berlangsung otonom atau otomatis.

Adanya pengaruh genetik, stres, konsumsi rokok dan lain-lain akan mengaktivasi sistem saraf simpatis melalui peningkatan jumlah neurotransmiter (katekolamin, nor-epinefrin, dll). Efeknya adalah terjadi peningkatan denyut jantung yang menambah curah jantung, sehingga tekanan darah dan agregasi platelet meningkat.

Peningkatan neurotransmitter nor-epinefrin memberikan dampak negatif pada jantung, ginjal dan  dinding pembuluh darah. Pada jantung norepinefrin akan menyebabkan hipertofi, aritmia dan memicu kerusakan miokard. Di ginjal, norepinefrin membuat resistensi natrium, dan mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosterone (RAA). Pada pembuluh darah, nor-epinefrin memicu terjadinya vasokonstriksi.

patofisiologi dari penyakit hipertensi

Peran renin angiotensin aldosterone (RAA):

Pada keadaan tekanan darah menurun, refleks baroreseptor tubuh akan bereaksi. Tubuh akan mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosterone (RAA) sehingga terjadi proses bertingkat (kaskade) sehingga membuat renin disekresi, lalu angiotensin I (AI), selanjutnya renin angiotensin II (AII) dan seterusnya, sehingga tekanan darah meningkat kembali. Adanya faktor resiko hipertensi yang tidak dikelola dengan baik, memunculkan hipertensi, seperti proses dalam sistem RAA ini.

Peran dinding vaskular pembuluh darah:

Hipertensi juga merupakan bagian dari sindroma penyakit  “the atherosclerotic syndrome” atau “the hypertension syndrome” yang ditandai dengan berbagai gejala.  Hipertensi sering disertai dengan adanya aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan penyebab kematian terbanyak penyakit kardiovaskular.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi

Paradigma penyakit hipertensi dimulai dari proses disfungsi endotel pembuluh darah, yang berlanjut menjadi disfungsi vaskular hingga kerusakan organ atau target organ damage (TOD).

Gejala dan tanda penyakit hipertensi di awal proses penyakit tidak terlihat. Hipertensi dikenal sebagai “the silent killer” ketika ada komplikasi keluhan baru terasa.

Penatalaksanaan penderita hipertensi dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, kemudian pengobatan.

Anamnesis mencakup lama hipertensi, adanya hipertensi sekunder, faktor-faktor resiko, kemungkinan gejala-gejala kerusakan organ, riwayat pengobatan hipertensi sebelumnya, faktor pada pribadi, keluarga dan lingkungan penderita.

Pemeriksaan fisik pada penyakit hipertensi dilakukan dengan memeriksan tekanan darah secara tepat.

Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa, kadar kolesterol, total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum, haemoglobin, hematokrit, urinalisis, serta elektrokardiogram.

Pada penderita hipertensi juga perlu dilakukan pemeriksaan penyakit penyerta sistemik, misalnya penyakit diabetes melitus, gangguan fungsi ginjal, dan lain-lain.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi

Pengobatan hipertensi secara farmakologik dengan obat-obatan anti hipertensi. Pilihan obat pertama adalah thiazide diuretic yang diberikan secara monoterapi atau kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya.

Obat anti hipertensi lainnya adalah ACE-I (Ace Inhibitor Angiotensin I), ARB (Angiotensin Receptor Blockers), beta bloker, calsium channel blocker, diuretik.

Upaya mencegah penyakit hipertensi dengan mengurangi asupan garam di bawah 1500 mg/hari, memilih makanan sehat, memperbanyak makan sayur dan buah, makanan kaya serat, mengurangi lemak, olah raga teratur, tidak mengkonsumsi alkohol, dan mempertahankan berat badan dalam batas normal.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi memudahkan kita menatalaksanaan penyakit ini dengan baik.

Patofisiologi dari penyakit hipertensi

Post Your Thoughts