Telaah Terhadap Kenaikan Harga Daging Sapi Tahun 2021 di Indonesia

Telaah terhadap kenaikan harga daging sapi tahun 2021. Adakah hari-hari ini para ibu membeli daging untuk menu keluarga? Ketika harga daging sapi meningkat cukup tinggi mencapai Rp. 130 ribu per kg di awal tahun 2021 ini. Mahalnya harga daging sapi membuat daya beli keluarga untuk jenis daging ini menurun. Ini berdampak pada penjualan daging yang jauh menurun. Para pedangan daging di pasar-pasar traditional akhirnya sempat beraksi mogok.

Setelah para ibu kehilangan menu tempe dan tahun beberapa waktu lalu, kini merambah pada berkurangnya daging sapi di pasar. Akankah menurunnya kemampuan keluarga membeli daging  sapi menyebabkan pemenuhan protein dalam menu keluarga berkurang? Mari kita coba simak potret gizi keluarga di Indonesia.

Apakah menu keluarga Indonesia akan berubah? Apakah kadar protein pada menu makanan keluarga akan menurun ketika daging sapi tidak dapat dibeli karena harganya mahal? Perlukah Indonesia meningkatkan suplai daging sapi dengan harga terjangkau untuk menu keluarga? Mungkin ini serentetan pertanyaan yang bisa muncul dalam benak kita.

Bicara soal pangan adalah berbicara tentang kebutuhan pokok manusia Indonesia. Sandang, pangan, papan menjadi satu paket kebutuhan yang harus terpenuhi ketika kita ingin mewujudkan manusia Indonesia Sehat dan sejahtera. Asupan protein hewani seperti dari daging sapi merupakan bagian yang menentukan kualitas konsumsi makanan untuk bisa sehat dan produktif.

Kita kembali pada pemenuhan kebutuhan protein keluarga. Kementerian Kesehatan secara rutin mengeluarkan kadar standar protein untuk makanan pada setiap kelompok usia. Standar masukan kandungan protein pada makanan yang terbaru diterbitkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia.

Pada PMK ini dikeluarkan standar berupa angka kecukupan rata-rata energi bagi masyarakat Indonesia pada tingkat konsumsi sebesar 2100 kilo kalori per orang per hari. Dari tingkat konsumsi rata-rata ini maka  kebutuhan proteinnya sebesar 57 gram per orang per hari.

Berdasarkan standar kecukupan tadi kita bisa mencoba melihat potret kecukupan gizi di masyarakat,  contohnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat  (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).  Mari kita simak hasil penelitian yang menggunakan data Susenas tahun 2014. Hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat di kedua propinsi ini konsumsi pangan protein hewaninya belum mencukupi angka  standar kecukupan gizi.

Di NTB dan NTT tingkat partisipasi konsumsi pangan bersumber protein hewani dari daging sapi rendah yaitu 6,06%. Tingkat konsumsi gading sapinya juga tergolong rendah yaitu mencapai 0,43 kg/kapita/hari. Walaupun konsumsi daging sapi ini sudah mencapai 2 kali tingkat konsumsi daging sapi nasional 0,27 kg/kapita/hari.

Dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa tingkat konsumsi daging sapi di NTB dan NTT masih terbatas karena beberapa kondisi sebagai berikut: (a) Meskipun kedua propinsi ini merupakan daerah sentra peternakan sapi, para peternak umumnya memiliki sapi untuk sumber pendapatan keluarga, tidak untuk dikonsumsi, (b) harga daging sapi di pasar relatif lebih tinggi dibanding jenis sumber protein hewani lainnya, (c) daya beli masyarakat untuk daging sapi rendah.

Kondisi lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapai adalah faktor Income Elasticity of Demand  atau elastisitas pendapatan terhadap permintaan suatu produk. Artinya tingkat sensitifitas naik turunnya pendapatan masyarakat terhadap permintaan suatu produk.

Ketika elastisitas pendapatan terhadap permintaan tinggi berarti ketika ada peningkatan pendapatan maka konsumen akan lebih banyak membeli produk tersebut. Pada hasil penelitian ini dilihat dua gambaran elastisitas, yaitu pada penduduk di perkotaan dan di pedesaan.

Pada Penduduk perkotaan elastisitas pendapatan penduduknya untuk produk daging sapi, daging ayam, susu, ikan yang segar maupun ikan yang diawetkan lebih tinggi. Untuk penduduk di pedesaan elastisitas pendapatan jauh lebih besar pada jenis daging lainnya dan telur.

Menarik untuk disimak telur sebagai sumber protein untuk gizi masyarakat. Secara nasional tingkat partisipasi konsumsi telur paling tinggi dibanding sumber protein pangan lainnya, mecapai 73,84%. DI NTB dan NTT partisipasi konsumsi telur 47,18%, lebih rendah dari nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa telur menjadi pilihan sumber protein pangan masyarakat.

Produk telur relatif terjangkau bagi keluarga. Telur juga banyak tersedia dan mudah diperoleh. Dibandingkan dengan daging sapi, produk telur menjadi pilihan yang dapat dijangkau oleh penduduk di perkotaan dan pedesaan.

Berdasarkan penelitian ini ada baiknya kebijakan pangan bagi masyarakat perlu dievaluasi kembali. Apakah ketersediaan sumber protein yang baik untuk masyarakat didorong untuk meningkatan konsumsi daging sapi atau menyediakan alternatif lain sebagai pilihan sumber protein yang lebih ekonomis?

Sementara di setiap daerah ada pola makan khas budaya lokal dengan sumber protein hewani yang kaya. Ada berbagai jenis ikan seperti lele, belut, masih ada daging kelinci, ada daging bebek yang bisa menjadi pilihan protein hewani.

Faktanya memperbaiki gizi masyarakat bersumber pangan protein hewani bukanlah perkara mudah. Terlebih dengan kondisi gizi masyarakat Indonesia yang ditandai dengan tingginya angka stunting. Berdasarkan Riskesdas 2018 angka stunting mencapai 30,8% dan direncanakan dapat turun ke angka 19% pada tahun 2024 sesuai RPJMN 2020-2014.

Stunting merupakan masalah gizi kronis pada anak-anak. Kondisi ini dikenali dengan badannya yang pendek dibandingkan dengan standar tinggi bagi anak seusianya. Kondisi ini terjadi karena asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama hingga anak mengalami gangguan pertumbuhan. Yang dihawatirkan adalah gangguan pertumbuhan ini turut melemahkan kecerdasannya.

Gizi masyarakat dan penyediaan produk pangan seperti dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Semoga kita semua semakin sadar untuk menata kembali negeri ini lebih baik lagi, agar kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi dengan jumlah yang mencukupi dan harga terjangkau.

Telaah terhadap kenaikan harga daging sapi tahun 2021.***

Sumber:  PMK Nomor 18 Tahun 2019 (Kemkes); Pola konsumsi dan permintaan pangan sumber protein hewani di Propinci NTT dan NTB (Esty Asriyana et.al., 2019); Redefinisi swasembada daging (Khudori, Republika, 2021); Kemkes fokus pada pencegahan stunting (Indonesia dot go dot id, 2019).

Post Your Thoughts