Dinamika pertumbuhan penduduk Korea Selatan kian menurun menjadi problem yang tidak segera usai. Pada tahun 2019 jumlah Korea Selatan mencapai 51,7 juta orang dari semula 51,6 juta orang di tahun 2018. Pertumbuhan ini ditandai dengan kecenderungan keluarga Korea yang rata-rata memiliki 1 anak, usia ibu melahirkan anak pertama yang semakin menua, dan termasuk negara dengan rasio kelahiran terendah di dunia bersama dua negara lain yaitu Portugis dan Moldova.
Pemerintah Korea Selatan telah berusaha melakukan reformasi kebijakan keluarga. Mengapa laju pertumbuhan penduduk sulit dikoreksi? Ada banyak sebab yang dapat kita selami dari kondisi ini.

Berbagai program reformasi keluarga yang digulirkan adalah pelayanan daycare bagi keluarga dengan anak-anak usia 0-5 tahun, cuti melahirkan bagi istri atau suami, tunjangan keluarga dalam bentuk bantuan dana atau inkind dan keringanan pajak keluarga, dll.
Reformasi kebijakan keluarga di Korea Selatan telah berhasil membelanjakan dana publik untuk program keluarga dari 0,24% tahun 2001 menjadi 1,32% di tahun 2013 dari anggaran pendapatan negara.
Pemanfaatan program cuti melahirkan oleh pasangan suami istri Korea terus meningkat. Ada 9.122 pekerja wanita yang menikmati cuti ini tahun 2004, meningkat hingga 82.467 di tahun 2015. Kesempatan cuti melahirkan juga telah dinikmati oleh para pekerja pria saat kelahiran bayi mereka.
Program cuti melahirkan yang diberikan baik berupa kesempatan libur dari pekerjaan atau ditambah dengan insentif tunjangan melahirkan.

Pengalaman di negara Eropa seperti Perancis, Jerman dan Swedia program insentif bagi keluarga telah memperbaiki angka fertilitas keluarga (fertility rate) sehingga memperbaiki laju pertumbuhan penduduk di negara tersebut. Nyatanya karakteristik keluarga di ketiga negara ini berbeda jauh dengan potret keluarga di Korea Selatan.
Sekalipun program keluarga telah diimplementasikan pertumbuhan penduduk tetap melambat. Ternyata nilai dan budaya keluarga traditional Korea masih bertahan. Struktur keluarga Korea dengan beban tugas rumah tangga dan pengasuhan anak masih dipegang para wanita, sensitivitas gender dalam penerimaan wanita di dunia kerja, adanya norma keluarga yang masih dipegang teguh. Semua ini tidak memberikan keleluasaan wanita bekerja dan mengasuh anak-anak mereka. Wanita Korea dipaksa untuk memilih antara kedua peran ini.
Dunia kerja dengan porsi waktu bekerja yang panjang hanya memberikan sedikit waktu bagi para pria untuk berinteraksi dengan anggota keluarga dan membantu pekerjaan rumah tangga. Berbeda dengan kondisi di Finlandia. Disana para pria memiliki waktu lebih lama di rumah, sehingga bisa membantu mengasuh anak mereka dan memiliki angka fertilitas meningkat. Kelahiran anak-anak dalam keluarga Finlandia pun bertambah.

Implementasi program keluarga di Korea Selatan belum berhasil meningkatakan angka fertilitas. Keluarga Korea terkesan menahan diri untuk menambah jumlah anak. Dari satu studi di tahun 2016 didapatkan fakta bahwa pengeluaran keluarga amat tinggi untuk membiayai pendidikan privat bagi anak mereka. Pendidikan privat seperti kursus tambahan selepas jam sekolah umum menjadi trend di Korea Selatan. Seolah semua keluarga berlomba memenangkan kompetisi pendidikan bagi anak-anak mereka.
Banyak pihak menyarankan pemerintah untuk meningkatkan program pendidikan di semua tingkat pendidikan sehingga orang tua tidak perlu menguras pendapatan mereka untuk berbagai kursus selepas jam belajar di sekolah. Penajaman program keluarga dengan menapis persoalan sosial yang terjadi di tingkat mikro perlu dilakukan. Sehingga pendekatan program dapat disesuaikan dengan hasil temuan lapangan.

Masalah sosial dan budaya seringkali menjadi ganjalan bagi proses perubahan. Pertumbuhan penduduk Korea Selatan menjadi satu potret bagi kita bagaimana sulitnya mengubah budaya ditengah perubahan zaman yang bergerak cepat. Namun demikian menyelami nilai dan budaya masyarakat menjadi poin penting agar program kebijakan menyentuh sampai pada persoalan yang sesungguhnya. Bagaimana dengan Indonesia?
Dinamika pertumbuhan penduduk Korea Selatan kian menurun.***
Sumber: Policy Response to Low Fertility in Korea: A Look through OECD Indicators, Yoo-jeong Shin (2018)
Post Your Thoughts